DILIRIK PENULIS NASIONAL, BAGI-BAGI BUKU TIAP MINGGU

Bersama Komunlis, Komunitas Menulis dalam Kunjungan ke Kabar Probolinggo.




Akhir pekan lalu, Kantor Kabar Probolinggo mendapat kunjungan dari komunitas menulis atau Komunlis. Lebih dari sepuluh orang pengurus dan anggota Komunlis sharing mengenai kegiatan kepenulisan yang mereka geluti, sekaligus memuaskan rasa ingin tahu mereka mengenai industri koran. 
RIFQI RIVA AMALIA, Mayangan

Komunitas menulis atau Komunlis merupakan perkumpulan sejumlah anak muda yang aktif menelurkan karya tulis dalam bentu esai, cerpen, puisi hingga buku. Tak hanya dipamerkan dalam blog atau note Facebook, mereka juga mengirimkannya ke berbagai media. “Kami memang ingin membumikan budaya literasi. Menulis, membaca lalu menulis lagi dan membaca lagi,” ungap Yeti Kartikasari, mantan wartawan surat kabar nasional yang menjadi humas komunlis dalam kunjungannya ke Kabar Probolinggo. Menurut Yeti, soal sejarah berdirinya komunlis Stebby Julionatan lah yang mengetahui perihal ini. Sebab, bisa dibilang dialah ibu yang melahirkan komunlis. Stebby yang turut serta dalam rombongan menimpali, komunlis lahir dari bincang-bincangnya bersama Ahmad Faiz, staf ahli DPRD kota Probolinggo di 7 Juli tiga tahun silam. “Kami mengawali dari dunia maya. Membuat grup di jejaring sosial.

Dari situ kami bergerak menuju dunia nyata. Sayangnya ada pertemuan pertama yang datang hanya dua orang, mas Faiz dan saya,” ucapnya tergelak. Tak ingin surut, Stebby pun aktif mengajak orang-orang yang memiliki kecintaan membaca dan menulis yang sama dengannya. Ia kemudian dipertemukan dengan Yeti Kartikasari yang memiliki minat sebesar dirinya dalam dunia literasi. “Takdir juga yang kemudian mempertemukan kami dengan Novita Sutanto. Berempat bersama salah satu wartawan lokal kami menggerakkan komunitas ini agar hidup.

Kami yang mengkoordinir, mengurus kegiatan serta membuat program. Setelah anggota Komunlis semakin banyak, beebrapa anggota kemudian kami libatkan secara aktif,” ungkap Stebby. Kini Komunlis memiliki anggota ribuan orang dengan anggota aktif mencapai 500 orang. Tak ingin hanya sekedar sharing karya dan informasi kepenulisan, sejak pertengahan tahun ini Komunlis menelurkan sejumlah program.

Menariknya, nama untuk setiap program ini dibuat lucu agar memudahkananggota untuk mengingat. Ada Kembung atau Kamis Sambung. Program mingguan ini menurut Stebby meminta anggota untuk meneteskan karya yang memuat tiga kata. Admin atau penguruslah yang memilih kata-kata yang akrab disebut tiga mantra. Setelah beberapa karya masuk, admin berembug menentukan pemenang yang berhak mendapatkan buku. Ada juga Diksi atau diskusi sastra minggu pagi. Pada diksi kami menerjemahkan ulang cerpen yang dimuat di harian nasional. Penerjemahan ulang terbaik juga kami beri buku. Ada juga kompetisi yang kami lakukan sekali dua kali dnegan hadiah lebih besar. Selain itu masih ada pengajian sastra yang dilakukan setiap bulan sekali, latihan menulis, pembacaan karya, diskusi buku dan pustaka keliling. “Ini semua kami lakukan untuk membumikan budaya menulis dan membaca,” sambung Yeti.

Dalam upaya itu pula, komunitas menulis ini berkunjung ke Kantor Kabar Probolinggo. Di harian yang lahir pada April lalu ini, anggota Komunlis mencari tahu bagaimana cara kerja dalam pembuatan koran. Termasuk proses percetakan. “Saya kira dicetak di belakang sini. Saya cari kok tidak ada mesin cetaknya. Ternyata cetaknya di luar kota,” ungkap Lilik Handayani, salah satu anggota Komunlis. Mereka juga mencari tahu mengenai gaya kepenulisan antar amedia dnegan buku. Juga mengenai tulisan-tulisan agar mudah diterima media. “Kunjungan dan diskusi semacam ini penting untuk anggota kami. Sehingga ada penegtahuan lain mengenai bentuk tulisan selain puisi, prosa atau tulisan yang mereka buat sehari-hari,” tambah Novia. Komunlis sendiri kini tengah menggarap proyek penulisan buku omnibus atau kumpulan karya dari berbagai orang yang dibukukan. Proyek yang mereka namai “Sofa Merah” ini tengah dalam pengerjaan. Di mana masing-masing anggota menyetorkan cerpen masing-masing dengan tema sofa merah.

“Syukurnya, gerakan ini sudah dilirik berbagai penulis. Seperti Bunda Wina Bojonegoro, Benny Arnas, Yetty Ka, Fidelis R. Situmorang, Novanka Raja, Sanie B Kuncoro, Emji dan Indah Hanaco. Beberapa penerbit juga mengajak kami bekerjasama,” sambung Yeti. Bagi Novia, Yeti dan Stebby, bugan bergabungnya nama-nama besar dalam dunia sastra Indonesia yang dicari. “Membaca, menulis dan melahirkan karya, memunculkan penulis baru, itulah yang kami inginkan. Bila pada akhirnya gerakan sederhana kami membuat nama-nama besar itu menoleh, kami bersyukur. Itu artinya akan semakin banyak orang yang bergerak untuk membumikan literasi. Mari menulis, membaca, menulis, membaca dan menulis lagi,” tutup Humas Komunlis ini. (gus)

Komentar

Postingan Populer