EUREKA

Eureka!


Ya, aku serasa Archimedes yang keluar dari bak kamar mandinya sambil berlari-lari terlanjang keliling kampung karena seneng. Ya, seneng karena tugas yang diembannya untuk mengukur berat jenis logam mulia yang menjadi PRnya selama ini akhirnya terpecahkan gara-gara ia mandi dan mendapati permukaan air yang naik, bahkan tumpah, ketika dirinya nyemplung di bak mandi itu.

Sama seperti Archimedes, semalam saya mengalami masa-masa pencerahan itu. Ragara semalam, saya yang lagi diet ini, yang aslinya ga boleh makan segala makanan berjenis mi-mi'an, ga tau kenapa, entah setan apa yang lewat, akhirnya memutuskan untuk mampir ke kedai cwie mie langganan. Kedai cwie mie milik Mas Andre yang biasane mbakul di depan Hotel Ratna, Probolinggo.

Tapi bukan itu inti ceritanya... bukan karena aku makan cwie mie terus mak srut, sulapan, aku dadi pinter. Hahahaha... Tapi, sewengi, di sanalah aku ketemu Mas Heli.


Siapakah Mas Heli ini?

Mmmmm... Mas Heli adalah seorang pria, usianya sekitar 38 tahunan. Pemilik nama lengkap Helium Wibisono ini, setahu saya, (nanti kalau infonya kurang lengkap tolong tambahono yo, Rek!) adalah pemilik franchise Milkshake Pemuda, pengusaha, bojone ayu #ups, duiete akeh #upsmaneh (yo maklum, kan pengusaha toh, Rek!), dan alumni SMP 5 dan SMA 1 Probolinggo (yo, zaman SMP SMA, Mas Heli ini kakak kelasku tibakno).

Entah dari mana juntrungan pembicaraan semalam itu. Intinya, saat itu aku sedikit curhat masalah yang dihadapi oleh komunitasku, Komunlis. Terus dia tanya, "Berapa anggotanya Komunlis yang aktif?" Kujawab dengan, "Yang aktif sih paling cuma 10 orang mas." Lha iya toh, anggota Komunlis seng saiki aktif paling yo isine grup Sandal Jepit iku. Rani, aku, Hari, Makcis, Onang, Nita, Mbak Desi, Itfan, Astri, dan kakakku dewe, Anne. Dia tersenyum, "Biasanya emang segitu kok, Mas." Ucapnya membesarkan hati. Lalu... lalu... aku sampaikan kalo aku tuh kesulitan masalah regenerasi. Setiap mereka yang masuk, di usia tertentu (baca: lulus SMA) pasti bakal meninggalkan Probolinggo. Imbasnya, regenerasi tak bisa berjalan baik. Komunlis tak bisa berkembang. Mandeg. Anggotanya mung iku-iku wae.

Lalu dengan bijak Mas Heli bertanya, "Biasanya tujuan mereka apa? Golnya mereka menulis dan ikut komunitas itu apa?"

Aku diam. Kami terdiam. Beberapa menit yang hening. Ia memberi kesempatan bagiku untuk berpikir.

Setelah beberapa saat, lalu Mas Heli melanjutkan, "Biasanya penulis itu melankolis. Dia ga peduli dan ga mikir masalah uang, yang penting apa yang mereka hasilkan, karya mereka bisa dibaca orang, diapresiasi, dia akan seneng wes. Nah, itu tugasnya ketua untuk melakukannya. Membuka, memberi ruang bagi karya-karya mereka."

Ting ting ting ting.... Lonceng di otak saya mulai berbunyi. Ia yang selama ini berdebu, berat, bahkan berkarat, ditarik dan dibunyikan. Pikiran saya berlarian, bahkan berloncatan pada apa yang sudah dilakukan oleh Komunlis, pada peristiwa-peristiwa dan kegiatan yang selama ini sudah kami lakukan untuk gerakan literasi di Probolinggo (juga sekitarnya). Ting ting ting ting ting.... Ya, hinga mi yang diantar Mas Andre pun akhirnya tak nampak seperti mi, tapi seperti benang kusut yang selama ini ada di kepala akhirnya bisa terurai malam itu juga.

Eureka! Bener juga apa yang dikatakan Mas Heli. Golnya apa? Pengennya mereka -para anggota Komulis itu apa? Jangan-jangan, selama ini, apa yang kami kerjakan dalam berkomunitas, sebenarnya hanya berpusat bagi keinginan pribadiku saja. Ya, program-program seperti Komunlis Goes To School, 3 Mantra, Kamis Sambung, pengajian sastra, bedah buku, mendatangkan penulis-penulis muda Indonesia yang lagi hits ke Kota Probolinggo dalam setahun ini, semuanya hanya ambisi pribadiku belaka. Bukan keinginan mereka. Mangkannya ga salah kalau Komunlis ga berkembang. Ga bisa seperti Pelangi Sastra Malang atau Rebo Sore Probolinggo, misalnya. Ya, padahal keinginan mereka sederhana. Di.a.pre.si.a.si...

... dan ruang itulah yang alpa untuk kusediakan.

Ya, detik itu juga, aku lantas teringat pada blog ini. Blog Komunlis yang sudah lama sekali tak tersentuh, tak termanfaatkan, sampe banyak sawang-sawang...

Ya, kami harus punya wadah untuk mengapresiasi karya (tulis) anak-anak Probolinggo, karya anggota-anggota kami di Komunlis...

"Wadah apa ya, yang mudah, murah dan sederhana bisa dimanfaatkan untuk menampung karya-karya mereka?" Itulah pertanyaanku yang malam itu lantas menemukan jawabannya karena ketemu Mas Heli. Ya, mungkin memang Tuhan mempertemukan kami untuk suatu maksud, dan (kurasa) inilah maksudNya. Maksud kenapa tiba-tiba aku berhasrat untuk mokel seporsi cwie mie istimewa.

Ya, andaikata Mas Andre tahu kalau harga pertemuan kami malam itu tuh priceless, ga dapat diukkur dengan rupiah, kemungkinannya, aku akan membayar berapa pun rupiah yang ia sebutkan sebagai pengganti harga semangkok cwie mie ayamnya.

Ya, untuk itulah, akhirnya malam ini, setelah sesiangan bergelut dengan pelatihan dan berbagai aktifitas di hari ini, aku putuskan untuk kembali pada rumah lama kami. Memperbaikinya... memberikan sentuhan-sentuhan yang baru, mengubah namanya menjadi "Suara Ruang Kosong" -agar bisa diisi oleh apapun, agar rumah ini bisa bermanfaat kembali bagi kami, wong Bolinggo, khususnya anggota Komunitas Menulis.

Semoga!


P.S. : Yang mau kirim karyanya buat dimuat di blog ini, silahkan dikirim ke komunlis@gmail.com dan jangan lupa di-CC ke sjulionatan@yahoo.com
P.S.S. : Karya akan tetap melalui kurasi
P.S.S.S : Tersediah hadiah (kadang buku terbaru, kadang voucher diskon Togamas) untuk yang karyanya dimuat.
P.S.S.S.S : Terima kasih. #love

Komentar

Postingan Populer